Aku
berada di kota buruh. Dimana malam dan siang adalah bekerja. Yang ada disini kebanyakan
pendatang. Datang untuk makan. bahkan ada yang datang jualan makan, hanya untuk
makan.
Malam
itu, aku keluar kontrakan, hanya mencari keramaian. Untuk menghilangkan sepi
dengan keadaan.menyusuri setiap jalan. Hanya untuk menghapus kenangan.
Aku
berhenti dibawah rangkaian besi penopang kabel penghantar arus listrik. Namun
sepi hati tak terusik. Hati ini terus berbisik. Aku berada ditengah lalu
lintas. Antara jalur kanan dan kiri. Aku tak sendiri. Masih ada sejuta pahit
yang mengendap dalam kopi.
Sekadar
melepas lelah, tubuh ini merebah. Bersama rumput serta embun yang kian merekah.
Tanganku bergandeng untuk menopang kepala dan otak yang terus saja berbicara.
Langit malam ini cerah bahkan tak satupun bintang terlihat. Hanya beberapa
kilat. Namun tak terdengar satupun gemuruh suara dari kilat tersebut. Apa malam
ini terlalu bising?
Ya,
memang beberapa roda dua seakan berteriak “minggir, aku ini si kilat. Cepat
adalah segalanya” tak jarang juga mungkin terburu-buru mengejar waktu yang tak
pernah berhenti.
Diatas
roda juga kadang terlihat dua hati sedang berbagi kasih. Berpeluk mesra. Seakan
angin malam adalah alasan peluk itu terjadi. Tak jarang genggaman tangan seolah
bercerita “Dunia, lihatlah aku. Aku cinta dia dan dia begitu pula”
Diseberang
jalan, restoran. Seakan menawarkan kehangatan. Didalamnya manusia berkecukupan
menyantap hidangan. Berpeluk dengan keadaan yang nyaman. Malam mereka mungkin
cerah, Karena lampu restoran yang menyinari.
Disamping
restoran, pedagang kopi hanya menunggu pelanggan. Serta berharap, esok ada
hidangan. Tak jarang pula mereka meratapi lamunan. Ada juga menyalakan api
rokok untuk menghangatkan badan. Malam mereka mungkin cerah, karena lampu jalan
yang menemani.
Seketika
itu aku mengingat seorang teman. Biasanya kami (aku dan Ali Fajari), sepulang
sekolah kami ngobrol kesana-kemari namun diri kita masih ditempat yang sama.
Tidak hanya berdua saja, kami biasanya berempat (tambahan Nely Fidiyaningsih
dan Aulia Nurbaeti), bisa juga berenam (tambahan Anton Krisdiyanto dan Ina Amaliyana). Tak jarang berlima (anton Absen). Kami melihat dan mengomentari
sekitar kota, khususnya depan RSUD Brebes. Itu yang mengajariku, untuk melihat
sekitar.
Ya,
sekitar adalah luas. Dimana saat kau melihat kedepan, kau seakan buta yang ada
di kanan, kiri, belakang, atas dan bawah. Saat mendengar suara juga begitu.
Saat mendengar yang di depan, kau seakan tuli tentang yang di kanan, kiri,
belakang, atas dan bawah. Karena itu tak semua orang yang berkecukupan penuh
bahagia. Dan tak jarang orang ditepi jalan selalu berpeluk dengan kesedihan.
Aku melihat keadaan dengan begitu bebasnya
disini. Karena mereka seolah tak menyadari arti hadirku. Dan aku sadar, aku
melihat mereka karena aku tak mau menatap diriku sendiri. Aku berada dalam
keramaian. Namun masih berpeluk dengan kesepian.
*maaf apabila ada yang salah dalam penulisan nama.
No comments:
Post a Comment